Kini Hadir Panglima Perang Bagian Utara Yang Berdarah Persia

Sejarah Pahlawan,”matahukum.id – Panglima perang bagian utara tengah dan timur Aceh melawan Belanda dengan gagah perkasa mengusir penjajah di bumi pertiwi ini.

Aceh melakukan perang berkepanjangan melawan kolonial belanda dari tahun 1873-1943 M.

Dari peristiwa ini banyak melahirkan pahlawan yang sangat gigih dan ditakuti belanda.

Salah satunya yaitu Tuengku Tapa, namun seorang tuengku tapa mungkin tidak setenar nama panglima perang aceh lainnya seperti, Tuengku Tjhik Ditiro Syeikh Muhammad Saman dan yang lain-lainnya.

Padahal dalam sejarah perang Aceh atau perang sabil ia didapuk sebagai panglima perang di daerah aceh timur dan Aceh utara.

Dikisahkan, Tuengku Abdurrahim (ayah Tuéngku Tapa) berasal dari pesisir Utara Aceh yang memiliki darah campuran Persia adalah keturunan pandai besi dari nenek moyangnya pada saat kerajaan Samudera Pasai masih berdiri.

Suatu malam Tuengku Abdurrahim bermimpi, bahwa beliau harus menikah dengan seorang gadis si pahit lidah atau berpangkal lidah berwarna hitam.

Beliau mengembara sambil mencari petunjuk untuk menemukan calon istrinya.

Takdir Allah, dalam pengembarannya bertemulah dengan Reje Delung tue bernama Téungku Yunus yang bergelar Datok Gayo.

Beliau menceritakan rahasia di dalam mimpinya kepada Datok Gayo (Tuéngku Yunus).

Setelah mengetahui Putri Datok Gayo bernama Semedah, memiliki ciri-ciri seperti yang disebutkan dalam mimpinya maka beliaupun (Téungku Abdurrahim) melamarnya.

Datok gayo-pun mengiyakan dengan syarat memenuhi mahar; “seberat badan seimbal nyawa.”

Teungku Abdurrahim pun pulang ke kampung sambil mencari tahu makna dari mahar yang disyaratkan Datok Gayo.

Setelah mengetahui dan menyiapkan isi maharnya ; seberat badan berarti kitab atau ilmu dan seimbal nyawa bermakna pedang, beliau kembali menemui Datok Gayo (Tuengku Yunus).

Akhirnya pada hari baik, Tuéngku Abdurrahim menikah dengan Semedah.

Dari darah suci dan mulia inilah, pada tahun 1852 lahir bayi bernama “Obrahim” yang setelah dewasa, orang menyebutnya dengan sebutan “Tuéngku Tapa” karena kebiasaannya bertapa di hutan belantara, terutama menjelang akan berperang dengan belanda.

Wajah “Tuéngku Tapa” selalu tampak pucat karena kurang terkena sinar matahari.

Kebiasaannya selalu memakai empat kain berwarna putih yang dipintal menjadi satu di lehernya.

Kain yang menyerupai tali itu selalu dipakainya saat berperang sampai beliau ghaib.

Tuéngku Tapa menikah dengan gadis turunan dari bagian tenggara Tanoh Gayo bernama Dawamah.

Dari pernikahannya mereka dikaruniai seorang laki-laki bernama Muhammad dan seorang perempuan bernama Vahaya Limpah.

Muhammad syahid di Aceh bagian Utara ketika berperang melawan belanda dan cahaya limpah dinikahkan dengan kepercayaan “Tuéngku Tapa” yang bernama Yuéngku Melum atau Pang Nona yang merupakan guru dari allahummagfirlahu Tuéngku Ilyas l Leube (Perdana Menteri Aceh Sumatra).

Pejuang aceh membagi tiga wilayah perang dengan pimpinan masing-masing, wilayah barat selatan dipimpin oleh Teuku Umar, wilayah Pidie dan aceh besar dipimpin Tuéngku Tjhik Ditiro Syeikh Muhammad Saman dan anak-anak cucunya, dan wilayah utara, tengah dan timur Aceh dipimpin oleh Tuéngku Tapa.

Banyak peperangan yang dipimpin Tuéngku Tapa bersama “pasukan mujahidin,” melawan pasukan belanda, di antaranya di pepedang atau Wih Pecampuren.

Sosok Tuéngku Tapa juga disinggung penulis belanda, Snouck Jourgonje, dalam buku “get gajiland en zijne bewoners” diterbitkan pemerintah Hindia Belanda di Batavia (Jakarta) pada tahun 1903.

Kata Snouck Hurgronje : “Tuéngku Tapa adalah seorang ajaib, yang pada tahun 1898 dan selanjutnya begitu banyak mendapat pengikut.

Pengikut di daerah Aceh timur dan juga pase di Aceh Utara, Tuéngku Tapa adalah seorang gayo dari aburni Telong.”

Dia (Tuéngku Tapa) tetap melakukan dan menggerakkan kekacauan dengan pengikut-pengikutnya yang terdiri dari orang-orang gayo dan dari orang-orang Aceh, hingga tewas pada 1900 di daerah pase,” tulis Snouck Jurgronje.

Sejarawan mohammad said dalam buku “Atjeh sepanjang abad” (1961), menyebutkan bahwa “Tuéngku Tapa dari Gayo memimpin pertempuran di aceh timur setelah panglima nyak makam tewas oleh belanda”.

Tuéngku tapa berjuang bersama istrinya.

Idi Cut telah dapat dikuasi oleh Tuéngku Tapa dan membuat pekan ini menjadi kompleks pertahanannya.

Pihak belanda mencoba untuk merebut Idi Cut kembali, tapi tuéngku tapa bukan mundur malahan makin maju mengadakan serangan ke ibu kota idi sendiri.

Dekat dengan Idi yaitu Teupin Batee, Tuéngku Tapa telah membangun kubu-kubu pertahanan pasukannya.

Van Jeutsze terpaksa untuk sementara menghentikan pencarian terhadap Teuku Umar dan Panglima Polem, dan pergi ke idi untuk memadamkan perlawanan Tuéngku Tapa.

Pada tahun 1897, seperti tulis Atjeh Omperial Archives, laskar Yamiang yang telah bergabung dengan 20 orang Gayo dan 120 orang dari pesisir Aceh di bawah kendali Panglima Tuéngku Tapa melakukan perlawanan dan terjadi kontak tembak dengan opsir-opsir belanda yang akan menuju manirang.

Para murid dan pasukan tuéngku tapa di antaranya : Tuéngku Mata Ie yang syahid di Samargading, Pang Akub, Pang Bedel, Pang Ben, Pang Tjhik dan Pang Latih yang tidak mau menyerah dan turun sampai tahun 1970-an, walaupun Indonesia sudah merdeka.

Tuéngku Tapa syahid pada tahun 1900 saat perang dengan pasukan Belanda di Kuta Piyadah dan dimakamkan di Matang Ano, Seuneddon, Aceh Utara.

Pada saat syahid jasadnya tidak ditemukan dan yang dikuburkan adalah sorban dan pakaiannya.

Beliau dikuburkan dengan 40 orang Gayo yang syahid.

Sumber WA Group PASEE SERANTAU ACEH UTARA. +62 813-80*9-9**9 Le Putra

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *